Hilang Sebelum Ditemukan

 

Gambar : google

Siang itu, matahari bersinar terik. Bahkan angin pun seolah enggan berembus. Sama seperti aku yang enggan beranjak dari tempat tidur untuk sekadar membasuh diri. Kusut dan bau. Udara memang panas, tetapi air pegunungan yang segar terlalu dingin untukku yang sedang merasa kurang enak badan. Alasan yang terasa tepat untuk bermalas-malasan.

Deru mesin motor yang tak terlalu akrab di telingaku memecah suasana siang yang lengang. Kadang aku bosan, para pemuda ini datang silih berganti ke rumahku. Terutama di saat siang terik begini. Yang ada dalam benakku hanya keinginan untuk tidur siang.

Terdengar suara riang. Memanggilku dengan nada yang menyenangkan. Sumarna. Kukatakan pada adikku bahwa aku sedang tidur dan tidak ingin diganggu. Aku sedang tidak enak badan. Ah, aku pandai sekali membuat alasan kalau tak hendak menemui siapapun. Terkadang aku menyuruh adikku berbohong.

“ Yah.. please.. Suruh dia keluar dong.. Aku kangen nih..” kangen katanya, padahal dia bukan siapa-siapaku. Pertemuan dengannya pun baru terhitung jari.

“Please, Nes, aku lagi sedih nih.. Cuma Ida yang bisa membuatku bahagia, karena dia itu lucu,dan bisa membuatku selalu tertawa.” Rayunya pada adikku.

Tapi aku bergeming. Aku mengantuk dan hanya ingin tidur. Alasan apa pula itu, hanya aku yang bisa membuatnya bahagia? Baru kali ini kudengar alasan absurd dari pemuda yang hanya ingin bertemu denganku. Seperti tak ada hari esok saja, pikirku.

Akhirnya dengan kecewa ia pun pulang. Dengan alasan tidak enak badan yang kubuat, aku sama sekali tak ingin menampakkan wajah di hadapannya. Terasa masuk akal saat itu. Adikku pun menertawakan alasan yang temanku itu buat. Sangat lucu menurutnya. Dan aku pun setuju.

Hari berganti. Di siang yang sama teriknya dengan kemarin, kudengar kabar yang mengejutkan. Kabar yang sama sekali tak pernah ingin kudengar. Aku tak ingin mempercayainya. Kabar yang membuatku menyesal dan malu. Malu pada diriku sendiri.

Sumarna. Sumarna meninggal dunia. Dalam kecelakaan motor yang aneh namun tragis. Dia Bersama dengan temannya. Mengendarai motor di jalanan yang lengang. Terjatuh karena lubang di tengah jalan. Tak bisa dipercaya, temannya selamat sedangkan ia harus mengembuskan nafas terakhirnya di tempat itu. Seketika.

Ketika kabar itu sampai di telingaku, aku bergegas datang ke rumahnya yang riuh oleh tangis dan airmata. Menemuinya yang telah dingin dan kaku. Sedangkan kemarin aku menolak sapaannya yang hangat dan bersemangat.

Sumarna. Dengan wajahnya yang jenaka memanggil namaku. Menganggapku istimewa dan berharga. Sedangkan aku, gadis malas ini mengabaikannya, di saat yang terpenting dalam hidupnya.

Aku dengan bodohnya datang di saat ia tak lagi dapat bercerita. Tentang kesedihan maupun kebahagiaan hatinya. Berharap ia dapat berbicara lagi denganku saat ia telah membeku. Berharap dapat mengucapkan kata maaf, aku menyesal.

Airmataku jatuh berderai. Kupeluk satu-satunya saudara perempuannya, yang tampak hancur karena kepergian adiknya. Tak ada yang tahu, bahwa akupun sama hancurnya. Kupandangi wajah beku itu terbungkus kain kafan itu. Kuharap semua itu hanya mimpi. Kuharap ia bangun disaat yang tepat. Tentu saja itu tidak terjadi.

Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan itu terpatri dalam sanubariku. Sosok dan wajahnya sering kali terbayang di pelupuk mata. Senyum dan tawanya yang bersahaja. Aku telah menyia-nyiakan sahabat seperti dia.Sumarna, sahabat yang hilang sebelum ditemukan. Kepergiannya meninggalkan lubang menganga di hatiku.

“Andai saja waktu dapat kuputar kembali. Kan kupeluk erat dirimu sahabatku. Tak kan kubiarkan kau bersedih hati sendiri. Kudoakan kau bahagia di sana. Hanya itu.. hanya itu yang kubisa..”

 

Cileungsi, 18 November 2020

 

Anastasia Lovicha

Post a Comment

4 Comments